Surat Terbuka dari Catatan Despresiku

 


(note: tolong membaca tulisan ini sambil mendengarkan sebuah alunan musik piano dari Shigatsu wa Kimi no Uso 🎹)

Sebuah perkenalan manis, mengukir sebuah kenangan indah dalam ingatan.

Berawal dari pertemuan, berujung menjadi kisah cinta klise.

Dua hati yang saling mengenal satu sama lain, menghabiskan waktu setiap hari, dan berbagi rasa hingga hari berganti.

Sebuah komitmen yang terucap di malam yang syahdu, bahwa kita tidak akan pernah saling meninggalkan ataupun menyakiti, ternyata kalimat itu hanyalah bualan manis yang pernah terucap olehmu.

Pertemuan demi pertemuan, semakin menimbulkan sebuah tanda tanya besar.

Ku sadari ada suatu hal yang kau tutupi rapat dariku.

Semestalah yang mempertemukan kita dan menjadi saksi biksu setiap pertemuan, setiap canda-tawa, setiap tangisan, dan setiap janji manis yang terucap.

Semesta juga yang pada akhirnya mengungkap semua kebohonganmu.

Hingga hari kau mengucap janji suci pada pasanganmu, hari itu juga kau masih menemuiku dan berkata bahwa tak ada orang lain selain kita. Aku percaya. Saat itu.

Betapa bodohnya aku, telat mengetahui bahwa orang yang aku cintai dan sayangi dengan tulus, sudah dimiliki oleh orang lain.

Betapa bodohnya aku, masih percaya akan komitmen yang pernah kau ucapkan untukku.

Bahkan hari terakhir kita bertemu saat kebohonganmu terungkap, dalam sebuah pelukkan kau ucap janji untukku. Entah itu hanya untuk membuatku senang sesaat, hanya untuk menenangkanku yang tersakiti, atau janji tulus abadi yang terucap darimu.

Kembali lagi aku terjerat dalam sebuah trauma dan depresi, yang sudah lama berusaha aku sembuhkan.

Hadirmu yang dalam hidupku sebagai penyembuh luka masa laluku, ternyata kehadiran singkatmu hanya membawa luka semakin dalam, bahkan membunuh jiwaku.

Berulang kali aku mengucap, aku tulus melepaskanmu, aku ikhlas melihatmu membangun rumah tangga dengan wanita pilihanmu, yang engkau cintai daripada aku.

Dalam sebuah sakit hati yang kau buat, ada banyak hal baru yang kau tujukan padaku, seakan-akan kau menyalahkanku akan keadaan ini.

Kau tahu, aku tidak pernah berbuat apapun yang membuatmu sakit hati. Kenapa engkau selalu menyalahkanku? Bukahkah engkau yang telah membuka luka lamaku, dan kau tancapkan pisau yang membuat hatiku semakin rusak?

Kau menghilang begitu saja. Hanya mengucap kata maaf, tanpa berbuat apapun.

Kau pikir sebuah ucapan maaf saja bisa membuat keadaan normal? Walaupun aku memaafkanmu, tetapi keadaan tidak akan bisa kembali normal.

Kau harus tahu bahwa maaf tidak akan pernah cukup hanya untuk menyembuhkan luka.

Ibarat seorang pembunuh yang sudah memutilasi korbannya, permintaan maafnya tidak akan pernah membuat tubuh korban kembali seperti semula. Begitulah keadaan hati dan perasaanku.

Hari demi hari berganti. Hingga tahun pun ikut berganti.

Aku yang sudah menjalankan kehidupan baru tanpamu, aku yang bolak-balik rumah sakit jiwa untuk mengobati depresi dan traumaku, akhirnya kau datang kembali.

Kau datang kembali disaat keadaanku sudah stabil. Kau menanyakan kabar padaku, kemudian minta tolong padaku.

Hai, kemana saja kamu saat kabarku sedang sangat terpuruk? Kemana kamu saat aku membutuhkan pertolonganmu? Kemana kamu saat aku mencoba untuk bunuh diri, karena merasa aku tidak berharga setelah kamu rusak?

Kenapa kau datang seolah-olah tidak ada perkara besar yang menghampiri hubungan kita berdua? Bahkan dalam sebuah pesan dari whatsapp yang kau kirim padaku, kau mengomentari jika sikapku berubah?

Apakah kau berharap sikapku akan sama saja kepadamu? Kau ingin aku bersikap manis dan menolongmu sepenuh hati? Sungguh egois.

Terimakasih sudah menanyakan kabarku kembali. Tapi ku harap, kau mati saja dalam benakku. Jangan pernah kembali, hanya untuk memberikan luka baru atau mengingatkanku pada sakit hati yang kau perbuat.

Ingat! Sebuah janji yang pernah kau ucapkan padaku, tetaplah sebuah janji. Janji adalah sebuah utang yang harus dibayar. Semoga semesta memberikan keadilan untukku.

8 Comments