Peran Media dalam Pencegahan Kekerasan pada Perempuan

 

ilustrasi Karolina Grabowska/pexels

Hai Pinkish!💖
Akhir-akhir ini aku sering dengar tentang pelecahan dan kekerasan terhadap perempuan. Bahkan seorang perempuan yang jadi korban, malah mendapatkan ejekan atau dihina oleh masyarakat.
Sering kali perempuan dituntut untuk memenuhi kebutuhan orang lain, padahal seharusnya perempuan itu bisa berdiri sendiri, dan tidak perlu menuruti keinginan orang lain.
Sedikit cerita pengalaman aku. Aku pernah mengalami kekerasan dalam hubungan pacaran. Memang bukan kekerasan secara fisik yang aku alami, tetapi mentalku dijatuhkan dengan kekerasan secara verbal.
Waktu itu aku memilih untuk diam dan memendam semuanya, karena aku nggak mau putus darinya dan nggak mau banyak orang tahu tentang peristiwa yang aku alami. Tapi aku bersyukur sudah lepas dari masa kelam tersebut.
Beberapa waktu lalu, aku mengikuti acara zoom meeting yang diadakan Yayasan CARE Peduli dan UN Women, dengan tema “Ubah Narasi: Peran Media dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan”. Acara ini menghadirkan pembicara Veryanto Sitohang selaku Komisioner Komnas Perempuan, Lola Amaria selaku produser film dan publik figur, Devi Asmarani selaku Co-founder dan Editor-in-Chief, Magdalene.co, Cresti Fitriana selaku National Project Officer Communication and Information, UNESCO Jakarta. Acara ini dipandu oleh Moderator, Elvera N. Makki, Comunications and Social Impact Advisor dari VMCS Advisory Indonesia.

Dari acara ini, aku mendapatkan banyak sekali informasi dan pelajaran yang akan aku bagikan ke kalian. Acara ini diadakan untuk memperingati 16 Days of Activism against Gender-Based Violence atau 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP). Kampanye ini awalnya diadakan oleh para aktivis di Women's Global Leadership Institute, kemudian diperingati seluruh belahan dunia. Yuk baca artikel ini sampai bawah~😎

💖💖💖


Sejak adanya pandemi 2020, kekerasan berbasis gender (KBG) semakin meningkat, apalagi kekerasan terhadap perempuan. Hal ini disebabkan karena adanya krisis ekonomi dan sosial yang membuat keadaan semakin memburuk.

Bintang Puspayoga, sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia memaparkan bahwa 1 dari 3 perempuan berusia 15 hingga 64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya.

Bahkan menurut catatan tahunan Komnas Perempuan 2020, selama 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat 792% (8x lipat). Berikut datanya yang aku screenshoot dari zoom meeting kemarin:



Sebenarnya, data-data yang sudah dilaporkan itu lebih sedikit daripada kasus kekerasan pada perempuan yang terjadi dalam kenyataan. Sehingga dibentuk beberapa undang-undang untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak untuk seluruh rakyat Indonesia, termasuk para perempuan dan anak-anak.

Pemerintah juga memberikan upaya untuk menurunkan kekerasan terhadap perempuan, dengan cara promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Untuk cara promotif dan preventif ini dilakukan sebelum adanya kejadian. Sedangkan cara kuratif dan rehabilitatif ini dilakukan setelah adanya kejadian kekerasan pada perempuan.

💗💗💗

Peran Media dalam Pencegahan Kekerasan pada Perempuan

ilustrasi Andrea Piacquadio/pexels

Di era modern ini, kekerasan pada perempuan justru meningkat di media sosial, yang disebut dengan kekerasan siber berbasis gender. Menurut Komnas Perempuan 2021, bahwa setiap tindakan kekerasan berbasis gender, yang dilakukan, didukung atau diperburuk sebagian atau seluruhnya karena penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), yang menyasar terhadap seorang perempuan sebagai korban, karena ia seorang perempuan atau mempengaruhi secara tidak proposional terhadap perempuan, yang mengakibatkan atau mungkin berakibat terhadap kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk atas ancaman tindakan berupa pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik atau dalam kehidupan pribadi.

Seharusnya media memiliki peran yang besar untuk mengedukasi dan menghapus kekerasan terhadap perempuan. Namun, justru sering kali media mengungkap kronologis secara detail, seperti identitas korban dan menggunakan pemilihan kata uang terlalu vulgar, sehingga menyudutkan para korban kekerasan terhadap perempuan.

Dengan adanya narasi dan pemberitaan yang hoax, hal ini justru memicu masyarakat untuk membela pelaku dan menyudutkan korban. Bahkan korban tidak mendapatkan pemenuhan hak keadilan, perlindungan dan pemulihan.

Sebaiknya, dalam memenuhi peran media sebagai pencegahan, penghapusan dan edukasi tentang kekerasan terhadap perempuan ini, media tidak boleh mengungkap identitas korban, tidak memberikan stigma bahwa korban adalah pemicu kekerasan, tidak melakukan penghakiman pada korban, tidak menggunakan diksi yang vulgar, dan tidak boleh menggunakan opini yang sadis.

💖💖💖

Kesimpulan

ilustrasi  THIS IS ZUN/pexels

Nah, setelah mengetahui kenyataan yang terjadi tentang kasus kekerasan terhadap perempuan ini, sebaiknya kita lebih membuka mata dan hati, untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.

Sebagai masyarakat, kita berhak melaporkan kejadian terhadap kekerasan berbasis gender ini. Kita tidak boleh takut untuk membela keadilan dan kebenaran.

Kita juga bisa memberikan support terhadap sesama perempuan, dan tidak boleh mengahakimi atau menyudutkan korban. Jangan terlalu mudah percaya dengan pemberitaan yang hoax. Cari dulu kebenaran yang ada, dan jangan memberikan opini yang kasar atau tidak sesuai dengan fakta yang ada.

Semangat, girls! Xoxo.

0 Comments